Implementasi Kurikulum 2013 Menuntut Guru Menjadi Warga Digital

Warga digital (digital citizen) mengacu pada kelompok atau individu yang  memanfaatkan  teknologi informasi (IT) untuk meningkatkan aktivitas sosialnya, misalnya dalam bermasyarakat, berpolitik, dan berpartisipasi dalam pendidikan dan  pemerintahan. Ciri masyarakat digital adalah mampu menggunakan internet secara reguler dan efektif. Kualifikasi warga digital memiliki pengetahuan dan keterampilan ekstensif, serta mampu mengakses internet melalui personal computer (PC), mobile phone, dan piranti pengakses web lainnya untuk beriteraksi dengan berbagai organisasi publik atau privat. Karakteristik warga digital seperti tersebut sering menggunakan teknologi informasi secara ekstensif, membuat blog, memanfaatkan jaringan sosial, dan berpartisipasi aktif pada situs-situs berita dan jurnalistik. Terbentuknya warga digital lazimnya dimulai dari aktivitas sederhana, misalnya sekedar melakukan sign up alamat email, mengunggah foto diri ke internet (selfi), memanfaatkan e-commerce untuk membeli barang-barang kebutuhan pribadi secara online, dan ikut nimbrung meramaikan debat di jejaring sosial.

Selanjutnya, apa kaitan warga digital dengan implementasi kurikulum 2013?

 Warga Digital dan Kewargaan Digital

Seperti yang telah diulas dalam prolog, warga digital (digital citizen) merupakan individu yang memanfaatkan Tekonologi  Informasi  untuk membangun komunitas, bekerja, dan berekreasi. Warga digital  secara umum telah memiliki pengetahuan dan kemampuan mengoperasikan Teknologi Informasi untuk berkomunikasi maupun mengekspresikan sebuah ide. Contohnya bermain facebook, menulis blog, mencari informasi di forum, dan lain-lain.

Dalam hal berkomunikasi, dunia maya tidak jauh berbeda dengan dunia nyata. Komunikasi antar individu, maupun beberapa individu sekaligus dapat terjadi baik di dunia maya maupun dunia nyata. Tidak heran, berbagai karakteristik, pribadi, ide, maupun tujuan yang berbeda dapat tertuang di dunia maya. Namun, sifat dunia maya yang tidak mempertemukan individu-individu tersebut secara langsung dapat mendorong hilangnya norma-norma ewuh-pakewuh, sopan santun, tanggung jawab, dan etika berkomunikasi. Semestinya,  semua warga digital memiliki kewajiban untuk menjaga etiket dan norma, serta memiliki rasa tanggung jawab di dunia maya. Tetapi apa yang kenyataannya, situs jejaring ditengarai kerap digunakan sebagian orang atau kelompok tertentu untuk mencerca dan mencemarkan nama baik orang lain.

Quo Vadis Digital Citinzenship? Jika kita sempat mengikuti komentar-komentar yang  ada di berbagai media online, khususnya yang terkoneksi ke situs jejaring sosial, kita bisa menemukan puluhan atau ratusan komentar yang menggambarkan betapa masih perlunya peningkatan pemahaman dan kesadaran akan konsep kewargaan digital (Digital Citizenship).

Digitalcitizenship.net  memberikan pengertian kewargaan digital sebagai “the norms of appropriate, responsible behavior with regard to technology use”. Sedang Teachthought.com memberikan rumusan kewaragaan digital sebagai “the quality of an individual’s response to membership in a community”.  Rumusan dari  Teachthought.com menekankan kualitas respon individu sebagai bagian dari suatu komunitas jejaring sosial, sedangkan digitalcitizenship.net memberikan pengertian digital citizenship dalam konteks norma-norma yang kepatutan dan perilaku yang bertanggung jawab terhadap penggunaan teknologi. Dari kedua rumusan tersebut tampak bahwa kewargaan digital menunjuk pada kualitas perilaku individu dalam berinteraksi di dunia maya, khususnya dalam jejaring sosial, dengan menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab, sesuai dengan norma dan etika yang berlaku. Untuk menjadi warga digital yang sehat dan bermartabat tentu diperlukan edukasi tersendiri.

 

 Kurikulum 2013

Pemberlakukan kebijakan Implementasi kurikulum 2013 bagi seluruh tingkat satuan pendidikan merupakan keniscayaan yang tidak dapat diingkari, karena adanya tantangan internal dan eksternal yang begitu kuatnya. Sehingga pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan  perlu menetapkan kebijakan strategis baru untuk  penyempurnaan pola pikir bagi seluruh warga sekolah, dan penguatan tata kelola kurikulum, meliputi penguatan tata kerja guru dan manajemen sekolah, melalui implementasi kurikulum 2013.

Tantangan internal terkait dengan pemenuhan 8 (delapan) standar nasional  pendidikan, dan pertumbuhan penduduk usia produktif yang melimpah, hingga mencapai 70% pada tahun 2020 hingga 2035 sebagai modal pembangunan yang luar biasa besarnya, atau malah terjadi kebalikannya, yaitu menjadi beban pembangunan. Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan antara lain berkaitan dengan tantangan masa depan, kompetensi yang diperlukan di masa depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai fenomena negatif yang mengemuka di media sosial.

Derasnya arus globalisasi, isu lingkungan, kemajuan teknologi informasi, kebangkitan industri dan budaya kreatif, serta perkembangan pendidikan di tingkat internasional merupakan tantangan yang harus mampu diatasi oleh dunia pendidikan kita. Kompetensi abad 21, menuntut tersedianya lulusan sekolah yang memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, berfikir kritis dan jernih, kreatif, bertanggung jawab, dan memiliki toleransi yang tinggi, sehingga dapat mengikis habis fenomena negatif yang selalu muncul di era reformasi ini, antara lain perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, dan plagiarisme.

Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan perwujudan konsepsi pendidikan yang bersumbu pada perkembangan peserta didik beserta konteks kehidupannya sebagaimana dimaknai dalam konsepsi pedagogik transformatif. Konsepsi ini menuntut bahwa kurikulum harus didudukkan sebagai wahana pendewasaan peserta didik sesuai dengan perkembangan psikologisnya dan mendapatkan perlakuan pedagogis sesuai dengan konteks lingkungan dan jamannya. Oleh karena itu implementasi pendidikan di sekolah yang selama ini lebih menekankan pada pengetahuan, perlu dikembangkan menjadi kurikulum yang menekankan pada proses pembangunan sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik melalui berbagai pendekatan yang mencerdaskan, mendidik dan memandirikan. Penguasaan substansi mata pelajaran tidak lagi ditekankan pada pemahaman konsep yang steril dari kehidupan masyarakat melainkan pembangunan pengetahuan melalui pembelajaran otentik. Dengan demikian kurikulum dan pembelajaran selain mencerminkan muatan pengetahuan sebagai bagian dari peradaban manusia, juga mewujudkan proses pembudayaan peserta didik sepanjang hayat.

GB 1

Gambar 1.  Elemen Perubahan pada Kurikulum 2013

 Perubahan kurikulum 2013 berwujud pada kompetensi lulusan, materi, proses, dan penilaian. Sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar 12 Tahun maka Standar Kompetensi Lulusan yang menjadi dasar pengembangan kurikulum adalah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses pendidikan selama 12 tahun. Elemen utama perbaikan Kurikulum 2013 dalam kesesuaian dan kedalaman materi mencakup: a) mempertahankan, mengurangi, dan/atau menambah materi, b) bahasa sebagai penghela, c) tematik terpadu, d) penguatan IPA dan IPS di SMP, di SMA bebasis mapel, dan di SMK berbasis vokasional, e) penyesuaian dengan PISA, TIMMS dan lembaga lainnya serta dengan perkembangan di berbagai Negara.

Perubahan dalam revolusi proses pembelajaran adalah berbasis kreatifitas dengan menerapkan pendekatan saintifik, karakteristik kompetensi sesuai jenjang untuk jenjang dasar tematik dan untuk jenjang lanjutan berbasis mapel. Elemen utama perbaikan Kurikulum 2013 adalah memberi penguatan pada pendekatan saintifik dengan mengutamakan model-model pembelajaran penyingkapan (inquiry/discovery learning), dan hasil karya (problem based learning dan project based learning). Sedang perubahan pada penilaian mencakup: a) berbasis tes dan nontes (portofolio), menilai proses dan output dengan menggunakan authentic assesment, rapor memuat penilaian kuantitatif tentang pengetahuan dan deskripsi kualitatif tentang sikap dan keterampilan kecukupan.

 

 Pembelajaran berbasis Kreatifitas

Proses pembelajaran merupakan kegiatan interaksi antara peserta didik dengan unsur kependidikan lainnya yang berlangsung secara edukatif, agar peserta didik dapat membangun sikap, pengetahuan dan keterampilannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.” Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.” Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik  (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Implementasi kurikulum 2013 menuntut penerapan pembelajaran berbasis kreatifitas. Pendekatan pembelajaran berbasis kreatifitas dapat dicapai melalui pendekatan pembelajaran saintifik secara konsisten. Pendekatan pembelajaran saintifik terdiri dari 5 (lima) tahap belajar, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/melakuan eksperimen, menalar/mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji  hipotesis.

 

 GB 2

Gambar 2. Model Interactive Multimedia Learning

 

Dengan pendekatan ilmiah maka guru bukan satu-satunya sumber informasi bagi peserta didik. Guru tidak boleh lagi mendominasi pengajaran. Ledakan informasi mengharuskan guru menentukan cara-cara untuk memberikan pengalaman kepada peserta didik sehingga mereka bisa membnagun pemahaman mereka tentang dunia di sekitar mereka. Para guru harus merencanakan dan mengatur lingkungan belajar untuk memastikan bahwa peserta didik tertantang dan berhasil mencapai tujuan belajar.

Para guru memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peserta didik yang ada di bawah tanggung jawabnya. Strategi pengajaran yang dipilih oleh guru mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Oleh karena itu guru harus selektif dalam pilihan yang mereka buat. Guru berperan sebagai pemandu untuk meningkatkan pembelajaran peserta didik. Sebagai seorang pemandu, guru bertanggung jawab memastikan pendekatan yang digunakan untuk membantu peserta didik belajar dapat berjalan efektif dalam membantu mereka mencapai hasil belajar yang diharapkan.

Para pakar pendidikan, telah memecah strategi pengajaran menjadi dua kelompok, yaitu yang berpusat pada guru, yang diarahkan secara spesifik oleh guru, dan yang berpusat pada peserta didik, yang beorientasi untuk memenuhi kebutuhan peserta didik (Sharon, 2008).  Dalam dua kelompok tersebut, guru merupakan kunci bagi perancangan penagajaran. Yang berbeda adalah fokus atau orientasi dari strategi tersebut. Dalam strategi yang berpusat pada guru, guru merupakan fokusnya, yang bertindak mengarahkan belajar melalui cara-cara yang mengandung tujuan. Dalam strategi yang berpusat pada peserta didik, guru bertindak sebagai fasilitator, yang memberikan panduan saat peserta didik terlibat dalam aktivitas dan pengalaman belajar yang diarahkan oleh peserta didik. Strategi yang berpusat pada peserta didik, fokus pada peserta didik yang memimpin dan mengarahkan situasi belajar. Guru masih bertanggungjawab atas perencanaan dan pengembangan materi belajar sesuai tuntutan kompetensi  yang ingin dicapai.

 

 GB 3

Gambar 3.  Perubahan Model Mental Pengetahuan dan Keterampilan

 

Behavioristik yang digagas oleh Slinner meyakini bahwa guru dapat menciptakan suasanan pengajaran untuk memastikan bahwa guru akan mengamati respon peserta didik. Untuk itu para guru harus melakukan penguatan bagi perubahan perilaku, yang diistilahkan sebagai belajar. Gagasan Skinner bermakna bahwa guru bisa menyatakan seberapa baik seorang peserta didik menampilkan respon spesifik atau perilaku. Guru akan bisa mengamati kinerja peserta didik dan menakarnya berdasarkan kriteria yang ditetapkan (penilaian kinerja).

Selanjutnya, para kognitivis meyakini bahwa agar pembelajaran dapat berlangsung, pikiran para peserta didik harus secara aktif terlibat dalam memroses informasi, karena keterlibatan sangat penting dalam pengingatan kembali informasi di masa mendatang. Perspektif kognitivis mempengaruhi strategi pengajaran dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa informasi harus diatur dalam cara spesifik untuk menjamin pembelajar akan bisa menggunakan pengetahuan tersebut berdasarkan skema mereka sendiri. Menurut para kognitivis, peprosesan pengetahuan faktual bergantung pada bagaimana pengetahuan sebelumnya diatur oleh individu. Jika itu dilakukan dengan teratur, peserta didik akan memproses informasi dengan cepat dan efisien, misalnya melalui penerapan model penyingkapan, penemuan, dan berbais masalah. Kognitivis telah dipuji karena mengajukan istilah metakognisi, yang merujuk pada pengetahuan dan pemikiran mengenai proses berfikir seseorang. Ketika membahas metakognisi, para kognitivis sering kali berpendapat bahwa cara terbaik untuk membantu para peserta didik belajar tentang pemikiran mereka sendiri adalah melalui penggunaan strategi penyelesaian masalah, yang memberikan mereka dunia nyata yang bisa diselesaikan melalui proses terstruktur yang telah mereka pelajari. Gagasannya adalah memberikan mereka masalah yang bisa mereka selesaikan yang bergantung pada pengetahuan atau keterampilan spesifik yang mereka miliki, dan yang akan memandu mereka tidak hanya berhasil mengatasi situasi tetapi juga memperoleh pengetahuan tambahan dalam cara mereka berfikir.

Di pihak lain, kalangan konstruktivis meyakini nahwa peserta didik membentuk pengetahuan sendiri dan menciptakan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan. Mereka berpendapat bahwa para pembelajar harus memiliki peran aktif dalam proses belajar, mereka bukanlah wadah yang harus diisi, melaikan sebagai pengatur dari proses belajar mereka. Mereka merasa bahwa pebelajar tidak bisa mempelajari sesuatu tanpa pertama-tama memahami bagaimana sesutu itu disesuaikan dengan dunia nyata. Kalangan ini meyakini, bahwa guru merupakan fasilitator penting bagi peserta didik, yang memberikan mereka panduan di sepanjang pengalaman belajar mereka. Guru membantu membentuk jenis pengalaman belajar yang mereka miliki, berdasarkan kebutuhan spesifik mereka pada waktu tertentu. Contoh situasi belajar konstruktivis adalah ketika seorang guru menyiapkan fasilitas belajar bagi peserta didiknya menggunakan strategi penyelesain masalah. Dalam hal ini peranan guru yang amat penting adalah mengajukan pertanyaan yang menantang, yang mendorong peserta didik untuk melanjutkan ke penyelidikan mereka hingga berhasil menyelesaikan masalah.

 

Guru Digital

Empat teori belajar utama yang telah diuraikan di atas tentunya akan berdampak pada strategi pengajaran yang digunakan oleh guru. Kita juga telah mengetahui, nahwa terdapat dua kelompok strategi pengajaran, yang berpusat pada guru, dan berpusat pada siswa. Sementara tidak ada satupun cara yang paling tepat untuk mengajar, guru memiliki berbagai macam startegi pengajaran yang bisa mereka gunakan untuk membantu memudahkan pembelajaran siswa. Guru perlu membuat keputusan tentang kebutuhan belajar peserta didiknya dan memilih strategi pengajaran yang paling cocok untuk membantu peserta didik mencapai hasil belajar.

Implementasi kurikulum 2013 akan mengubah wajah sekolah kita. Sekolah kita masa depan tentu akan berbeda. Peran guru dan penggunaan teknologi dan media harus berubah jika sekolah ingin menyiapkan generasi bangsa penerus bangsa dapat berkontribusi dan menjadi modal pembangunan di era Indonesia Emas. Kecenderungan bagi guru saat ini dan untuk masa mendatang adalah peralihan dari dari metode dan perangkat pengajaran tradisional ke pendekatan digital agar lebih baik memenuhi kebutuhan peserta didik. Implementasi kurikulum 2013 menuntut guru mampu berperan sebagai warga digital. Guru yang mampu berperan sebagai warga digital dapat disebut  sebagai guru digital. Alat-alat digital memperluas dan meningkatkan kemampuan guru untuk memenuhi sejumlah peran dan tanggung jawab sebagai pendidik anak bangsa. Pengajaran guru digital melibatkan presentasi yang kaya media dan interaktif, melalui berbagai piranti digital. Perangkat ini memungkinkan guru digital untuk merencanakan dam menyediakan pengajaran interaktif dan turut serta dalam komunitas praktik global dengan sesama guru dengan cara yang labih baik.

 

GB 4

Gambar 4. Guru Digital membentuk Siswa Digital

 

Guru digital harus turut serta dalam komunitas praktik, yang merupakan sekelompok guru dari berbagai penjuru negeri dan bahkan antar negara yang memiliki tujuan yang sama dan berbagi gagasan dan sumber daya. Interaksi berbasis internet ini menyediakan kesempatan bagi guru untuk berkolaborasi dan bertukargagasan dan material. Guru masa mendatang harus mampu membangun “teacher network” dengan baik. Teacher network ini harus dibangun melalui jejaring sosial yang melibatkan guru, peserta didik dan orang tua. Saat ini banyak tersedia jejaring sosial yang lebih tertutup dan lebih aman untuk keperluan pendidikan, misalnya EDMODO. Para guru yang tertarik dalam integrasi teknologi ke dalam pengajaran mereka bisa memanfaatkan sumber daya dan jaringan ahli, mentor, dan kolega baru yang didukung oleh berbagai komunitas berbasis web. Salah satu contohnya adalah Tapped In (tappedin,org), yang menawarkan kesempatan kepada guru untuk berkolaborasi dengan jejaring global guru. Kolaborasi ini bisa meliputi perencanaan dan pelaksanaan proyek belajar gabungan yang melibatkan para peserta didik dari berbagai lokasi untuk bekerja sama memecahkan masalah yang umum. Guru diundang untuk turut serta atau memimpin kelompok dan diskusi yang difokuskan pada isu-isu kunci pendidikan.

Memang mengubah perilaku guru tradisional ke guru digital tidak mudah. Tetapi seperti yang telah dinyatakan dalam prolog tulisan ini, bahwa masyarakat digital tidak terbentuk dengan cara instant. Terbentuknya masyarakat digital lazimnya dimulai dari aktivitas sederhana, misalnya sekedar melakukan sign up alamat email, mengunggah foto diri ke internet (selfi), memanfaatkan e-commerce untuk membeli barang-barang kebutuhan pribadi secara online, dan ikut nimbrung meramaikan debat di jejaring sosial.  Demikian juga untuk membentuk guru digital memerlukan beberapa tahapan adopsi dan adaptasi dalam menggunakan teknologi informasi. Mark Prensky (2006) menjelaskan adanya variasi transisi guru tradisional ke guru digital, kedalam empat tahap, yaitu: (1) mencoba-coba, (2) melakukan hal-hal lama dalam cara-cara lama, (3) melakukan hal-hal lama dalam cara-cara baru, dan (4) melakukan hal-hal baru dalam cara-cara baru.

Proses tersebut dimulai dengan mencoba-coba teknologi dengan secara acak menambahkan perangkat teknologi ke beberapa ruang kelas atau perpustakaan. Kemudian teknologi digunakan untuk melakukan hal-hal lama dalam cara lama, seperti guru yang menampilkan bahan tayang dalam power point ketimbang menggunakan transparansi OHP. Tahap berikutnya yang terlihat menjanjikan adalah melakukan hal-hal lama dalam cara-cara bar, seperti guru yang menggunakan model tiga dimensi untuk memperlihatkan sebuah senyawa ketimbang menggambarkannya melalui bahan tayang dua dimensi. Fase terakhir adalah menggunakan hal-hal baru dalam cara-cara baru, sepenuhnya menggunakan kekuatan teknologi dan media, tetai ia mengharuskan menyediakan para peserta didik dengan konten yang berorientasi masa depan untuk mengembangan kemampuan mereka dalam pemrograman, dan penyaringan informasi. Banyak ruang kelas saat ini telah mencapai tahap empat dengan mengadopsi dan mengadaptasikan lingkungan mereka dengan alat digital yang mendukung dan meningkatkan kemampuan guru dan siswa digital. Siswa digital belajar di ruang kelas di mana teknologi merupakan komponen tetap dari pembelajaran yang memperluas lingkungan pendidikan melalaui dinding ruang kelas dan melampaui kemampuan pembelajar yang ada saat ini.

Akhirnya, semoga dengan semakin derasnya arus globalisasi yang menimpa dunia pendidikan kita, adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin menggila, dan adanya tuntutan keterampilan abad 21 merupakan tantangan yang harus mampu dicapai oleh dunia pendidikan kita pada umumnya dan secara khusus mampu dipenuhi oleh guru dan kepala sekolah dalam mencapai cita-cita mulai menuju Indonesia Emas. Semoga.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://definetheline.ca/dtl/definition-of-digital-citizenship

http://en.wikipedia.org/wiki/Digital_citizen

http://schools.natlib.govt.nz/supporting-learners/digital-citizenship/digital-citizenship-schools

http://www.digitalcitizenship.net

The Definition Of Digital Citizenship

Frank Bunning, (2007), Approaches to Action Learning in Technical and Vocational Education and Training (TVET), InWEnt – Internationale Weiterbildung und Entwicklung gGmbH Capacity Building International,  Germany

Sharon  E. Smaldino, (2008), Instructional Technology & Media for Learning, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.


Leave a comment